Pengamatan gempa bumi di Indonesia berawal pada
tahun 1898 saat pemerintah Hindia Belanda mengoperasikan seismograf mekanik
Ewing. Kemudian pada tahun 1908 dipasang seismograf Wiechert komponen
horizontal yang pada tahun 1928 dilengkapi dengan seismograf Wiechert komponen
vertikal. Pemasangan kedua jenis seismograf tersebut dilakukan di beberapa kota
yaitu Jakarta, Medan, Bengkulu dan Ambon. Dengan instrumen yang ada dilakukan
pemantauan gempa bumi meskipun dengan tingkat keakuratan rendah jika
dibandingkan saat ini.
Pada tahun 1953 BMG sebagai instansi yang terkait dengan pengamatan gempa bumi memasang seismograf Elektromagnetik Sprengnether di Lembang - Bandung yang disusul dengan pemasangan seismograf bertipe sama di Jakarta, Medan, Tangerang, Denpasar, Ujungpandang, Kupang, Jayapura, Manado dan Ambon sehingga terbentuk jaringan seismograf yang pertama kali di Indonesia. Seismograf 3 komponen ini beroperasi di sepuluh kota tersebut sampai dengan tahun 1980-an.
Pada tahun 1964 di stasiun Lembang dipasang Seismograf Teledyne Geotech yang termasuk dalam jaringan WWSSN (World Wide Standard Seismololgical Network). Seismograf ini memiliki 6 komponen dan mengalami modifikasi pada tahun 1978. Kemudian pada tahun 1974 UNDP-Unesco mengadakan proyek pengembangan seismologi di Indonesia yang antara lain meliputi standarisasi seismograf dan proses pengolahan data gempa bumi serta pengembangan jaringan pemantau. Salah satu bentuknya adalah pemasangan seismograf periode pendek (Short Period Seismograph - Kinemetric) komponen Z di 27 stasiun seluruh Indonesia.
Era sistem pemantauan telemetri di BMG dimulai ketika pada tahun 1989 dioperasikan Seismograf Telemetri Periode Pendek komponen Z dari LDG-Perancis di 28 stasiun pemantau di seluruh Indonesia. Stasiun-stasiun ini dikelompokkan menjadi 5 wilayah yang masing-masing memiliki satu Pusat Gempa bumi Regional (Regional Seismological Center) dengan pemantauan secara real time yang dipusatkan di Jakarta sebagai Pusat Gempa bumi Nasional (National Seismological Center). Seluruh stasiun ini pada tahun 1998 dilengkapi dengan fasilitas GARNET. Jaringan tersebut masih beroperasi hingga saat ini dan merupakan jaringan pemantau seismik utama BMG
Sejak tahun 1989 tersebut dapat dikatakan bahwa BMG memiliki dua tipe stasiun pemantau gempa bumi di Indonesia. Pertama adalah stasiun telemetri yang tidak berawak dan lainnya adalah stasiun geofisika konvensional. Di stasiun geofisika konvensional, data gempa bumi diobservasi dengan bantuan operator kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dan analisis parameter gempa bumi sementara. Data tersebut juga dikirimkan melalui internet, faksimil dan sistem komunikasi data lainnya ke PGR dan PGN untuk dianalisis lebih lanjut. Secara keseluruhan saat ini terdapat 30 stasiun geofisika konvensional dan 28 stasiun seismik telemetri yang tersebar di lima balai wilayah di seluruh Indonesia. Balai wilayah yang juga berfungsi sebagai Pusat Gempa Regional ini terdapat di lima kota yaitu Medan, Ciputat, Denpasar, Makasar dan Jayapura
Pada tahun 1993 dipasang seismograf periode panjang (Long Period Seismograph) 3 komponen di stasiun geofisika konvensional Tretes yang dilengkapi dengan TREMORS. Di tahun ini pula dipasang seismograf periode pendek 3 komponen SPS-3 (Kinemetrics) di 9 stasiun geofisika konvensional di seluruh Indonesia yaitu di Banda Aceh, Padang Panjang, Kepahyang, Kotabumi, Tanjungpandan, Kupang, Palu, Ambon dan Sorong.
Perkembangan lain dari sistem pemantau seismik BMG adalah dimulainya era broadband sejak tahun 1992 pada saat dioperasikannya seismograf 3 komponen tipe Broadband di stasiun Parapat dan Jayapura. Keduanya hingga saat ini masih beroperasi. Menyusul pada kurun waktu 1997-2001 dengan adanya proyek kerjasama Indonesia dan Jepang yaitu Joint Operation of Japan - Indonesia Seismic Network (JISNET) dipasang seismograf jenis broadband di 23 stasiun di seluruh Indonesia. Proyek kerjasama ini dilanjutkan kembali antara NIED Jepang dan BMG untuk periode 2001-2006 dengan nama Operation & Data Exchange of Japan - Indonesia Seismic Network (JISNET continued). Pelaksanaan proyek ini meliputi pemasangan seismograf jenis Broadband di 22 stasiun seluruh Indonesia.
Sementara itu, pada tahun 1999 di Kappang (Sulawesi Selatan) dipasang seismograf 3 komponen jenis broadband yang merupakan kerjasama BMG-UCSD/USA. Pada tahun 2002 di stasiun yang sama kembali dipasang seismograf bertipe broadband yang merupakan salah satu dari 6 stasiun seismik CTBTO (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty Organization). Lima stasiun lainnya adalah Parapat, Lembang, Kupang, Sorong dan Jayapura. Seismograf ini direncanakan akan beroperasi sampai dengan tahun 2004.
Pada tahun 2003 dibentuk Sistem Pemantauan Seismik Nasional (National Seismic Monitoring System) dengan penambahan seismograf broadband di 27 stasiun-stasiun seismik seluruh Indonesia. Seismograf ini terintegrasi dengan jaringan yang telah ada dan mempunyai sistem pengolahan data real time berlokasi di Jakarta dengan 3 Pusat Seismik Regional Mini (Mini Regional Seismic Center) yang berlokasi di Padangpanjang, Kepahyang, Palu. Jaringan sistem pemantau yang dikembangkan hingga tahun 2005 ini juga meliputi 15 Digital Strong-motion Accelerograph. Diharapkan dengan adanya penambahan instrumen pengamat dan perluasan jaringan seismik maka pengamatan gempa bumi serta fenomena yang menyertainya dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Pada tahun 1953 BMG sebagai instansi yang terkait dengan pengamatan gempa bumi memasang seismograf Elektromagnetik Sprengnether di Lembang - Bandung yang disusul dengan pemasangan seismograf bertipe sama di Jakarta, Medan, Tangerang, Denpasar, Ujungpandang, Kupang, Jayapura, Manado dan Ambon sehingga terbentuk jaringan seismograf yang pertama kali di Indonesia. Seismograf 3 komponen ini beroperasi di sepuluh kota tersebut sampai dengan tahun 1980-an.
Pada tahun 1964 di stasiun Lembang dipasang Seismograf Teledyne Geotech yang termasuk dalam jaringan WWSSN (World Wide Standard Seismololgical Network). Seismograf ini memiliki 6 komponen dan mengalami modifikasi pada tahun 1978. Kemudian pada tahun 1974 UNDP-Unesco mengadakan proyek pengembangan seismologi di Indonesia yang antara lain meliputi standarisasi seismograf dan proses pengolahan data gempa bumi serta pengembangan jaringan pemantau. Salah satu bentuknya adalah pemasangan seismograf periode pendek (Short Period Seismograph - Kinemetric) komponen Z di 27 stasiun seluruh Indonesia.
Era sistem pemantauan telemetri di BMG dimulai ketika pada tahun 1989 dioperasikan Seismograf Telemetri Periode Pendek komponen Z dari LDG-Perancis di 28 stasiun pemantau di seluruh Indonesia. Stasiun-stasiun ini dikelompokkan menjadi 5 wilayah yang masing-masing memiliki satu Pusat Gempa bumi Regional (Regional Seismological Center) dengan pemantauan secara real time yang dipusatkan di Jakarta sebagai Pusat Gempa bumi Nasional (National Seismological Center). Seluruh stasiun ini pada tahun 1998 dilengkapi dengan fasilitas GARNET. Jaringan tersebut masih beroperasi hingga saat ini dan merupakan jaringan pemantau seismik utama BMG
Sejak tahun 1989 tersebut dapat dikatakan bahwa BMG memiliki dua tipe stasiun pemantau gempa bumi di Indonesia. Pertama adalah stasiun telemetri yang tidak berawak dan lainnya adalah stasiun geofisika konvensional. Di stasiun geofisika konvensional, data gempa bumi diobservasi dengan bantuan operator kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dan analisis parameter gempa bumi sementara. Data tersebut juga dikirimkan melalui internet, faksimil dan sistem komunikasi data lainnya ke PGR dan PGN untuk dianalisis lebih lanjut. Secara keseluruhan saat ini terdapat 30 stasiun geofisika konvensional dan 28 stasiun seismik telemetri yang tersebar di lima balai wilayah di seluruh Indonesia. Balai wilayah yang juga berfungsi sebagai Pusat Gempa Regional ini terdapat di lima kota yaitu Medan, Ciputat, Denpasar, Makasar dan Jayapura
Pada tahun 1993 dipasang seismograf periode panjang (Long Period Seismograph) 3 komponen di stasiun geofisika konvensional Tretes yang dilengkapi dengan TREMORS. Di tahun ini pula dipasang seismograf periode pendek 3 komponen SPS-3 (Kinemetrics) di 9 stasiun geofisika konvensional di seluruh Indonesia yaitu di Banda Aceh, Padang Panjang, Kepahyang, Kotabumi, Tanjungpandan, Kupang, Palu, Ambon dan Sorong.
Perkembangan lain dari sistem pemantau seismik BMG adalah dimulainya era broadband sejak tahun 1992 pada saat dioperasikannya seismograf 3 komponen tipe Broadband di stasiun Parapat dan Jayapura. Keduanya hingga saat ini masih beroperasi. Menyusul pada kurun waktu 1997-2001 dengan adanya proyek kerjasama Indonesia dan Jepang yaitu Joint Operation of Japan - Indonesia Seismic Network (JISNET) dipasang seismograf jenis broadband di 23 stasiun di seluruh Indonesia. Proyek kerjasama ini dilanjutkan kembali antara NIED Jepang dan BMG untuk periode 2001-2006 dengan nama Operation & Data Exchange of Japan - Indonesia Seismic Network (JISNET continued). Pelaksanaan proyek ini meliputi pemasangan seismograf jenis Broadband di 22 stasiun seluruh Indonesia.
Sementara itu, pada tahun 1999 di Kappang (Sulawesi Selatan) dipasang seismograf 3 komponen jenis broadband yang merupakan kerjasama BMG-UCSD/USA. Pada tahun 2002 di stasiun yang sama kembali dipasang seismograf bertipe broadband yang merupakan salah satu dari 6 stasiun seismik CTBTO (Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty Organization). Lima stasiun lainnya adalah Parapat, Lembang, Kupang, Sorong dan Jayapura. Seismograf ini direncanakan akan beroperasi sampai dengan tahun 2004.
Pada tahun 2003 dibentuk Sistem Pemantauan Seismik Nasional (National Seismic Monitoring System) dengan penambahan seismograf broadband di 27 stasiun-stasiun seismik seluruh Indonesia. Seismograf ini terintegrasi dengan jaringan yang telah ada dan mempunyai sistem pengolahan data real time berlokasi di Jakarta dengan 3 Pusat Seismik Regional Mini (Mini Regional Seismic Center) yang berlokasi di Padangpanjang, Kepahyang, Palu. Jaringan sistem pemantau yang dikembangkan hingga tahun 2005 ini juga meliputi 15 Digital Strong-motion Accelerograph. Diharapkan dengan adanya penambahan instrumen pengamat dan perluasan jaringan seismik maka pengamatan gempa bumi serta fenomena yang menyertainya dapat lebih berdaya guna dan berhasil guna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar